TEKANAN SOSIAL DAN PENGENDALIAN DIRI

“Cobaan terbesar manusia adalah dirinya sendiri.”
Kita sering dengar dan baca kalimat itu bukan? Pernahkah sekali saja kita merenungi maksudnya? Mengapa diri sendiri adalah justru cobaan terbesar ? Baiklah, yuk kita coba menelaah bersama sama.
Hidup kita dimulai sejak kita lahir hingga nanti wafat. Selama rentang waktu hidup tersebut, pasti akan ada banyak hal yang akan kita alami dan lalui. Akan ada banyak sekali peristiwa bahagia, sedih, kecewa, marah, lega, senang, dan pedih yang harus kita rasai. Yang tentunya setiap rasa tersebut seharusnya memberi hikmah dan pelajaran hidup bagi manusia.
Akhir akhir ini, struktur masyarakat kita berubah. Dari yang sebelumnya yang tanpa internet kemudiansetelah adanya internet. Seperti pedang bermata dua, teknologi internet dan perkembangannya telah berhasil sedikit demi sedikit merubah persepsi atas standar hidup masyarakat dalam berbagai aspek, terutama dalam ekonomi dan sosial.
Hadirnya internet yang awalnya menjadi jalan tol atas kecepatan informasi, kondisi terkini dunia dan kecepatan pergerakan rantai perdagangan dunia, di satu sisi juga menghasilkan media sosial yang memungkinkan setiap pengguna membagikan segala hal yang ada dalam pikiran mereka untuk diketahui oleh dunia, termasuk membagikan kehidupan prinadi.
Hal inilah yang menjadi cikal bakal tekanan sosial melanda ke seluruh lapisan masyarakat dengan kecepatan yang luar biasa. Media sosial dan internet, berhasil merubah standar kehidupan yang diyakini oleh masyarakat, melahirkan berbagai konsep baru yang semakin mengaburkan kompas moral yang sebelumnya dianut oleh masyarakat.
Media sosial dan internet, telah menjadi penyebab utama shock culture yang dialami oleh antar generasi dan berhasil melebarkan jarak komunikasiantar generasi. Media sosial dan internet juga berhasil membuat budaya antar negara bebas masuk dan mempengaruhi budaya sebelumnya.
Dalam perkembangannya, internet melalui media sosial, mempengaruhi perilaku masyarakat dan menciptakan kubu kubu baru dalam prinsip yang dianut oleh masyarakat dan menciptakan tekanan sosial. Lalu pandemi COVID 19 memperparahnya. Masa isolasi hampir 3 tahun, memaksa masyarakat menggunakan sebagian besar waktunya menjelahi internet, memanfaatkan fasilitas atas beragam informasi baik positif maupun megatif yang tersaji bebas di media sosial dan aplikasi aplikasinya.
Muncul standar baru dalam nilai gaya hidup, pertemanan, pernikahan, pemdidikan terhadap anak, ekonomi, dan lainnya yang kesemuanya itu tanpa disadari memghasilkan tekanan baru dalam setiap aspek kehidupan yang pada akhirnya melahirkan krisis terhadan kesehatan mental masyarakat.
Tekanan sosial yang menghasilkan komunitas/kubu sosial baru dan standar baru, yang berakibat menghasilkan ketakutan, dianatranya:
- takut ketinggalan trend
- Takut tak diterima dalam komunitas,
- Takut kesepian,
- takut dianggap miskin,
- takut tak didengar,
- takut tak mampu mandiri,
- takut melawan arus,
- takut memulai langkah sendiri
- Takut dinilai buruk oleh orang tua dan beragam takut lainnya.
Di sisi lain, tekanan ini juga menghasilkan:
- Ketidakpedulian terhadap situasi sekitar
- acuh tak acuh terhadap orang orang di sekitarnya,
- keberanian tampil berbeda yang berlebihan,
- serta kurangnya kemampuan berempati terhadap diri sendiri maupun sekitar.
Pada akhirnya, segala tekanan sosial tersebut, mendorong munculnya tingkat stress, ketidak percayaan terhadap kemampuan diri dan melahirkan depresi. Yang celakanya, stigma yang ada di masyarakat terhadap anggotanya yang depresi masih sangat buruk, karena masih dilekatkan sebutan “GILA” ataupun dikucilkan.
Stigma ini menambah hambatan atas upaya untuk memulihkan diri bagi mereka yang mengalami tingkat stress tinggi atau depresi.
Oleh karenanya, dibutuhkan edukasi dan pelayanan nyata untuk dapat menjangkau masyarakat yang membutuhkan bantuan. Edukasi atas tanda awal depresi, edukasi atas moral, edukasi atas empati dan edukasi atas pembatasan akses terhadap media sosial dan internet, yang diharapkan dapat membuat seluruh lapisan masyarakat dapat bersama sama membenahi kondisi sosial dan mengurangi tekanan sosial terhadap diri sendiri dan orang orang di sekitarnya.
Semua ini bisa dimulai dari diri kita sendiri. Mengedukasi diri kita sendiri tentang pentingnya tak terjebak dalam standar sosial baru tercipta, mengedukasi diri sendiri untuk mampu memilah mana yang baik dan mana yang tidak baik, serta mengedukasi diri sendiri untuk peduli terhadap diri sendiri dan orang orang di sekitar kita.
Jika mulai terasa kita atau orang orang di sekitar kita tak bersemanhat, menunjukkan tamda tanda takut seperti di atas, atau tanda tanda tak peduli terhadap sekitar, segeralah mencari bantuan pelayanan, jika itu orang orang di sekitar kita maka segeralah menemaninya, lalu mulailah mencari informasi tentang pelayanan konselimg, jika sewaktu waktu dibutuhkan.
Percayalah, depresi dimulai dari diri sendiri yang tidak mampu menemukan batas kemampuan menerima emosi. Namun, semua itu bisa diatasi dengan penanganan yang tepat.
Segera kenali diri sendiri dan jangan ragu meminta bantuan jika diperlukan.