Luka yang Tak Terlihat: Trauma Masa Kecil dan Kesehatan Mental Menurut Dr. Gabor Maté

Banyak orang mengira trauma hanya terjadi saat seseorang mengalami peristiwa besar dan menyakitkan seperti kekerasan fisik, pelecehan, atau kehilangan orang tua. Namun menurut Dr. Gabor Maté, trauma sering kali hadir secara halus dan tersembunyi—terjadi saat kebutuhan emosional anak tidak terpenuhi, bahkan dalam keluarga yang tampak “baik-baik saja.” Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang tidak aman secara emosional tetap bisa membawa luka batin yang memengaruhi kepribadian dan kesejahteraan psikologis mereka hingga dewasa.
Dr. Maté menyatakan, “Trauma bukan tentang apa yang terjadi pada Anda. Trauma adalah tentang apa yang terjadi di dalam diri Anda sebagai hasil dari apa yang terjadi pada Anda.” Artinya, dua anak bisa mengalami kejadian yang sama, namun bereaksi sangat berbeda, tergantung pada dukungan emosional yang mereka terima.
Untuk memahami bagaimana luka batin ini terbentuk, penting melihat dampaknya terhadap perkembangan otak. Dalam situasi stres yang berkepanjangan, otak anak akan memprioritaskan mekanisme bertahan hidup dan menekan kemampuan lain seperti regulasi emosi, fokus, serta keterhubungan sosial. Anak-anak yang mengalami penelantaran, konflik rumah tangga, atau pengabaian emosional menjadi lebih rentan terhadap gangguan seperti kecemasan, depresi, dan kesulitan membangun hubungan yang sehat di kemudian hari.
Mengapa dampaknya bisa sedalam itu? Menurut Dr. Maté, jawabannya terletak pada dua kebutuhan dasar manusia yang sama-sama penting sejak masa kanak-kanak: attachment dan authenticity. Attachment adalah kebutuhan untuk terhubung dengan orang lain terutama pengasuh utama karena hubungan ini penting bagi kelangsungan hidup. Sementara authenticity adalah kemampuan untuk terhubung dengan diri sendiri: mengenali, merasakan, dan mengekspresikan perasaan serta kebutuhan dengan jujur. Dalam kondisi ideal, anak menerima cinta tanpa syarat dari pengasuh utama, yang memungkinkan keduanya berkembang seimbang. Namun, saat anak merasa bahwa ekspresi dirinya (emosi, keinginan, atau pendapat) mengancam hubungan dengan orang tua, ia akan memilih untuk mengorbankan authenticity demi mempertahankan attachment. Ini adalah bentuk adaptasi psikologis yang bisa berdampak panjang.
Sayangnya, ketika anak kehilangan akses terhadap attachment yang sehat maupun keterhubungan dengan dirinya sendiri, ia dapat tumbuh dewasa dengan rasa hampa dan luka yang belum tersentuh. Salah satu bentuk dari luka ini adalah kecanduan. Menurut Dr. Maté, banyak orang yang bergantung pada alkohol, narkoba, atau perilaku kompulsif seperti kerja berlebihan atau belanja bukan karena ingin merasa senang, tetapi karena ingin menghindari rasa sakit emosional yang dalam. Ia mengatakan, “The question is not why the addiction, but why the pain?” pertanyaannya bukan mengapa seseorang kecanduan, tetapi mengapa mereka merasa begitu sakit.
Jika luka utama berasal dari keterputusan, maka pemulihan pun dimulai dari keterhubungan kembali, baik dengan orang lain maupun dengan diri sendiri. “Every human being has a genuine, authentic self, and the trauma is that disconnection with it. And the healing is the reconnection with it.” – Gabor Maté. Sejatinya, setiap manusia memiliki jati diri yang otentik, dan trauma adalah apa yang menjauhkan kita darinya.
Proses ini bisa dimulai dari langkah-langkah kecil dalam kehidupan sehari-hari. Membangun kembali otentik diri dapat dilakukan melalui praktik mindfulness, seperti menyadari rasa makanan saat makan, atau memperhatikan udara dan suara saat berjalan. Praktik ini melatih kita untuk kembali hadir bersama diri sendiri. Sementara itu, membangun attachment bisa dimulai dari menciptakan hubungan yang aman dan saling mendukung—dengan berbagi perasaan tanpa penghakiman dan benar-benar hadir untuk orang lain.
Dalam konteks pencegahan bunuh diri, pemahaman ini sangat penting. Banyak individu yang berada dalam kondisi putus asa bukan hanya karena masalah hari ini, tetapi karena akumulasi luka lama yang belum pernah mereka pahami atau ungkapkan. Pikiran untuk mengakhiri hidup sering kali datang bukan karena mereka ingin mati, tetapi karena mereka tidak lagi tahu bagaimana harus hidup dengan beban yang mereka tanggung sendirian. Di sinilah empati dan koneksi menjadi sangat berarti. Banyak orang yang pulih dari krisis kesehatan mental bukan karena mereka “diperbaiki”, tetapi karena akhirnya ada seseorang yang benar-benar mendengarkan tanpa menghakimi. Hubungan yang aman dan penuh pengertian adalah dasar dari penyembuhan dan dalam banyak kasus, ini lebih penting daripada nasihat atau solusi instan.
Proses pemulihan dari trauma tidak terjadi dalam semalam. Ia membutuhkan waktu, dukungan profesional, dan ruang yang aman. Namun harapan selalu ada. Otak manusia bersifat plastis. Ia bisa berubah dan tumbuh, bahkan setelah masa kanak-kanak. Melalui terapi, praktik kesadaran diri, dan hubungan yang sehat, banyak orang menemukan kembali arah hidup mereka. Seperti yang ditekankan dalam berbagai penelitian neuroscience (Van der Kolk, 2014), tubuh dan pikiran dapat belajar merespons dunia dengan cara yang lebih sehat ketika trauma dikenali dan diolah.
Untuk memulai proses penyembuhan, ada beberapa langkah penting yang bisa dijalani:
- Pengenalan dan Penerimaan
Menyadari adanya trauma dan menerima bahwa itu memengaruhi kehidupan saat ini adalah langkah awal menuju pemulihan. Kesadaran ini membuka ruang untuk memahami diri sendiri dengan lebih jujur dan lembut. - Mencari Bantuan Profesional
Terapi dengan psikolog, psikiater, atau konselor berlisensi dapat membantu menggali akar trauma, mengurai luka lama, dan membangun mekanisme pemulihan yang sehat. - Membangun Jaringan Dukungan
Berbagi pengalaman dengan orang yang dipercaya atau bergabung dalam kelompok pendukung bisa menciptakan rasa tidak sendirian. Koneksi manusia adalah fondasi penting bagi proses penyembuhan batin. - Pendidikan dan Kesadaran
Memahami tentang trauma, bagaimana ia bekerja dalam tubuh dan pikiran, serta bagaimana ia memengaruhi perilaku, membantu kita mengambil alih kendali hidup kembali secara perlahan tapi pasti.
Masyarakat luas juga perlu mulai mengubah cara berpikir dalam melihat orang yang berjuang dengan masalah mental. Alih-alih bertanya, “Apa yang salah denganmu?”, kita bisa belajar bertanya, “Apa yang telah terjadi padamu?” Pertanyaan ini membuka jalan bagi belas kasih dan menjauhkan kita dari sikap menyalahkan atau menstigma. Bagi siapa pun yang sedang berjuang, perlu diingat bahwa perasaan yang Anda alami bukan tanda kelemahan, melainkan bukti bahwa Anda telah bertahan begitu lama. Mencari bantuan bukanlah tanda menyerah, melainkan langkah pertama untuk menyembuhkan luka yang tak terlihat. Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal sedang bergumul secara emosional, jangan ragu untuk mencari bantuan. Ada harapan, ada pemulihan, dan yang terpenting, Anda tidak sendirian.
Referensi:
- Gabor Maté, How Childhood Trauma Leads to Addiction, YouTube (https://youtu.be/BVg2bfqblGI)
- Van der Kolk, B. (2014). The Body Keeps the Score: Brain, Mind, and Body in the Healing of Trauma. Viking.